Adat Perkawinan Banda Aceh
Perkawinan dalam istilah Aceh disebut dengan “meukawen” atau “meunikah” (ijab
kabul). Sebelum melaksanakan perkawinan, ada beberapa syarat yang harus
dilalui seperti keumalon, syah road, meulake, dan menetapkan hari pernikahan
yang dilakukan oleh seorang seulangke (perantara).
Untuk sampai ke jenjang perkawinan dalam masyarakat Aceh harus ditempuh
langkah yang sangat bervariasi, dan ini sangat bergantung pada masing-masing
daerah. Umumnya di Aceh ketika syah road harus dilakukan seulangke yang mampu
meyakinkan keluarga calon mempelai perempuan untuk menerima lamaran seorang
laki-laki. Jika seorang seulangke tidak mampu meyakinkan keluarga calon dara
baroe yang dipinangnya, boleh jadi lamaran tersebut tidak akan diterima.
Setelah lamaran diterima, maka selanjutnya penetapan mas kawin (mahar) serta
penentuan hari membawa tanda (meutunangan) segera akan dilakukan. Meutunangan
adalah sebagai tanda resmi ikatan antara dua calon dara baroe dan lintoe baroe
(mempelai).
Ba Ranup Kong Haba
Pada hari yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak maka pihak calon
mempelai laki-laki bersama seulangke mendatangi pihak perempuan yang akan
dilamar dengan membawa sirih yang sudah dikemas rapi sebagai tanda penguat
ikatan kedua belah pihak. Istilah ini dalam adat Aceh disebut ranup kong haba
(sirih sebagai penguat pembicaraan). Ranup kong haba terdiri dari sirih,
pinang, telur yang sudah dimasak, pisang talon yang dibungkus dalam cerana
(paket) untuk dipersembahkan kepada keluarga dari pihak calon dara baroe.
Selain itu juga dibawa benda mas 1 atau 2 mayam dengan ketentuan menurut adat,
apabila ikatan ini putus disebabkan oleh pihak lelaki maka tanda mas tersebut
dianggap hilang atau hangus. Tetapi apabila ikatan putus disebabkan karena
pihak perempuan yang memutuskannya, maka tanda mas tersebut harus dikembalikan
ganda atau dua kali lipat dari jumlah emas yang diberikan pada waktu
peminangan.
Perkawinan
Tiga hari sebelum acara pesta perkawinan, terlebih dahulu oleh pihak pengantin
laki-laki (linto) diantar kepada pihak pengantin perempuan (dara baroe) sirih
inai (ranup gaca), ranup lipat/ranup gapu 1 hidang, 1 hidang alat-alat pakaian
dara baroe, 1 hidang breueh pade, 1 hidang telur rebus yang diberi warna,
setawar sedingin, dan daun inai (gaca) untuk inai dara baroe. Di rumah dara
baroe diadakan acara koh andam. Pesta perkawinan dilakukan sangat bergantung
pada kemampuan ekonomi pihak yang mengadakan pesta perkawinan. Jika mempunyai
kemampuan ekonomi yang baik maka pesta tersebut akan dilakukan secara meriah,
dan begitu pula sebaliknya.
Woe Linto
Pada upacara mempelai linto diberi pakaian adat dan diantar ke rumah dara
baroe secara beramai-ramai, dengan didahului oleh para ureung tuha gampong
(tokoh masyarakat). Sementara linto diapit oleh remaja yang seusia.
Sebagai bawaan (peuneuwoe) dari pihak linto adalah jeunamee (mahar atau mas
kawin) seumpama satu bungkol emas, diisi dalam cerana beserta jinong kunyet
dan beras padi. Cenara dibungkus dengan kain sutera kuning yang pada ujung
kain diletakkan bohru dari emas, ranup rajeu’ atau ranup peurakan. Dalam adat
masyarakat kota Banda Aceh, bawaan (peuneuwoe) dalam upacara woe linto ini
turut membawa berbagai perlengkapan dara baroe, seperti perlengkapan mandi,
perlengkapan make up, bakal baju pesta, sepatu, tas, dan sebagainya. Bawaan
ini bergantung pada kemampuan linto baroe sebagai tanda kewajiban memenuhi
kebutuhan calon istri.
Sesampainya di halaman rumah dara baroe, rombongan linto baroe dijemput
(dinantikan) oleh pihak dara baroe. Dalam prosesi ini, pihak linto baroe
memberi salam dengan kata-kata bersajak yang disambut pula dengan kata-kata
halus bersajak oleh pihak dara baroe. Prosesi ini disebut seumapa yang artinya
bertegur-sapa atau berbalas pantun. Namun ada pula yang menambahkan prosesi
penyambutan linto baroe dengan tarian tradisional Aceh seperti tari Ranup
Lampuan sebagai tarian penyambut tamu (kedatangan rombongan linto baroe).
Setelah itu linto dipersilahkan memasuki kediaman dara baroe dan kemudian
ditepung tawari, disiram dengan air mawar dan beras padi.
Dalam adat perkawinan masyarakat Aceh, ada yang melakukan akad nikah atau ijab
kabul di hari yang sama dengan upacara woe lintoe ini. Biasanya dilakukan di
serambi rumah dara baroe dan disaksikan oleh seluruh keluarga dan tamu yang
hadir dalam acara tersebut ketika linto memasuki kediaman dara baroe. Namun
saat ini, kebiasaan tersebut sudah mulai jarang dilakukan oleh masyarakat kota
Banda Aceh. Akad nikah (ijab kabul) sering dilakukan lebih awal atau beberapa
hari/minggu sebelum upacara woe linto ini diselenggarakan.
Setelah memasuki rumah dara baroe, linto beserta rombongan dipersilahkan untuk
mencicipi hidangan yang telah disediakan oleh pihak dara baroe. Dalam acara
jamuan makan ini, linto dipersilahkan duduk dalam sebuah pelaminan kecil dan
di dampingi oleh dara baroe untuk makan bersama. Sebagai bentuk kemesraan
antara pasangan suami dan istri ini, diadakan proses sulang makanan, yaitu
linto menyuapi dara baroe dan sebaliknya.
Setelah acara jamuan makan selesai, barulah kedua mempelai akan disandingkan
ke pelaminan yang lebih besar. Dalam prosesi ini, beberapa kerabat dekat dan
keluarga dara baroe akan melalukan peusijuek untuk mendoakan kedua mempelai.
Saat upacara ini selesai, maka seluruh pihak keluarga akan berfoto bersama dan
bersalaman dengan para tamu yang hadir untuk mengucapkan selamat kepada kedua
mempelai. Dalam adat masyarakat kota Banda Aceh, linto baroe diharuskan
tinggal di rumah dara baroe untuk beberapa saat, sedangkan rombongan yang
mengantarkan linto akan kembali pulang ke kediaman masing-masing.
Tueng Dara Baroe
Setelah melalui beberapa hari atau bulan usia perkawinan, pihak dara baroe
melakukan prosesi yang sama, biasa disebut upacara tueng dara baroe (mengantar
pengantin perempuan) ke rumah linto baroe (pengantin laki-laki). Setibanya di
rumah linto baroe, dara baroe dijemput oleh ibu linto baroe dengan ranup batee
dan gateng. Sesampainya di sana, dara baroe duduk bersanding dengan linto
baroe di singgahsana atau pelaminan kemudian dipeusijuek oleh pihak linto
baroe dan teumeutuek (pemberian) yang dilakukan oleh ibu dan kerabat dari
linto baroe. Dalam prosesi ini, dilakukan kebiasaan adat yaitu tangan linto
baroe dan dara baroe dimasukkan ke dalam eumpang breueh (empang beras) dan
eumpang garam (empang garam). Adat ini dimaksudkan bahwa ini adalah rumahnya
sendiri dan tahu dimana beras dan garam untuk perjanjian di masa-masa
mendatang.
Sementara bawaan (talam) dari dara baroe dalam upacara tueng dara baroe ini
yaitu kue-kue tradisional Aceh setidaknya terdiri dari 3 (tiga) jenis hidangan
seperti wajeb, dodoi, meuseukat, dan kue-kue kering lainnya seperti bhoi,
keukarah, bungong kayee, serta ranup batee. Bawaan (asoe talam) ini nantinya
akan dibagi-bagikan kepada sanak keluarga, kerabat, dan tetangga linto baroe.
Selanjutnya oleh pihak orang tua linto dihadiahkan benda menurut kemampuan
ekonomi kepada dara baroe, yang lazimnya berupa seekor hewan betina
Comments